Sebetulnya kalau melihat PTDI, industri Pesawat Terbang di Indonesia yang menjadi satu satunya di ASEAN, tidak mengherankan. Kalau kita menengok kebelakang, ternyata sejak jaman penjajahan anak bangsa ini sudah mampu membuat Pesawat Terbang. Konon pada tahun 1937, masih dalam penjajahan Belanda, beberapa pemuda dibawah pimpinan Tossin sudah bisa membuat pesawat terbang dengan nama PK KKH. Setelah merdeka, Wiweko Supono, Nurtanio Pringgodani Suryo dan Sumarsono telah membuat pesawat ringan (pesawat layang) tanpa mesin dengan nama NWG 1, dalam pembuatan juga dibantu Tosin dan kawan2.
Akhirnya tahun 1948 ciptaan Wiweko cs, pesawat bermesin yang merupakan pesawat pertama diberi nama RI-X. Selanjutnya mulai tahun 1953 dibawah Komando Depot Perawatan Teknik Udara, Mayor Udara Nirtanio Pringgoadisuryo, mulai me design prototipe pesawat si Kumbang. Si Kumbang bisa diterbangkan pada 1 Agustus 1954, disusul Si Belalang dan Si Kunang di tahun 1958.
Mulai 1960 terpikir untuk mendirikan Industri Penerbangan dan berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara No 488 Agustus 1960 didirikan LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan), namun peresmiannya baru 16 Desember 1961. Saat itu LAPIP sempat memproduksi 44 unit Pesawat yang dikenal dengan Gelatik yang digunakan untuk mendukung Kegiatan Pertanian sebagai Pesawat Penyemprot Hama.
Tahun 1965 LAPIP berubah menjadi KOPELAPIP (Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang), sayang Bpk Nurtanio gugur dalam uji pesawat terbang, akhirnya KOLELAPIP berubah menjadi LIPNUR (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio). Salah satu pesawat hasil LIPNUR adalah Pedawat Latih yang disebut LT 200. Dengan adanya tragedi 1965, LIPNUR pun mengalami kemunduran, baru tahun 1974 mulai ada pemikiran untuk mendirikan Industri Pesawat Terbang. Akhirnya tepatnya tanggal 26 April 1976 didirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) dengan Dr BJ Habibie sebagai Dirutnya.
Ditangan Pak Habibie, IPTN semakin menunjukkan kelasnya, bahkan di tahun 1976 penulis adalah saksi karena sebagai salah satu pilot C 212 yang menerbangkan produksi pertamanya. Tepatnya tanggal 11 November 1976, penulis sudah mempunyai Rating pesawat C 212 dan merupakan hasil Course Pertama khususnya untuk Angkatan Udara. Selain pesawat C 212, IPTN bekerjasama dengan Casa Spanyol pada tahun 1983, berhasil merakit pesawat C 235 yang kemampuannya diatas C 212 dan sudah tergolong Pesawat Angkut Sedang. Sesuai kebijakan Pimpinan Negara saat itu, pada 11 Oktober 1985, IPTN yang semula singkatan dari Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara.
Setelah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, IPTN semakin menunjukkan kelas dunia, bahkan Habibie mampu menciptakan pesawat Termodern dikelasnya yaitu Pesawat N 250. Prototipe N 250 PA 1 dengan nama Gatotkaca terbang perdana Agustus 1995 dan prototipe N 250 PA 2 dengan nama Krincing Wesi terbang perdana Agustus 1996. Pesawat N 250 betul betul dikagumi dunia karena mempunyai kemampuan sebagai berikut :
1. Teknologi kontrol fly by wire (FBW).
2. Teknologi Digital
3. Konfigurasi sayap diatas lebih stabil
4. Rentang posisi titik berat yang lebar lebih fleksibel
5. Daya mesin besar mampu short TO n Landing
6. Ukuran ekor yang besar bisa terbang dengan kecepatan rendah.
Sayang sekali saat menginjak era untuk produksi, dunia dilanda krisis pada tahun 1998 dan untuk bisa bangkit dari krisis, Indonesia bekerja sama dengan IMF syaratnya harus menghentikan produksi N 250. Walaupun Bpk BJ Habibie menggantikan Presiden Sieharto, tidak bisa berbuat banyak, harus merelakan dihentikan Akhirnya 2 pesawat N 250 menjadi saksi bisu dan terpikir menjadi besi tua di IPTN Bandung. Pelahan tapi pasti IPTN tetap berlanjut dan di era Gus Dur, IPTN berubah menjadi PTDI (PT Dirgantara Indonesia), tepatnya pada tanggal 24 Agustus 2000.
Di tahun 2000 an PTDI selain mengembangkan Pesawat yang sudah ada, banyak terobosan yang dilakukan, diantaranya adalah dirakitnya pesawat CN 295 sebagai pengembangan CN 235. Mulai tahun 2012, TNI Angkatan Udara memperkuat armadanya dengan CN 295. Terobosan yang luar biasa diabat 21 ini dan merupakan tonggak sejarah kebangkitan didunia Industti Pesawat Terbang, diluncurkan Pesawat N 219, dimana semua dirancang oleh anak bangsa dan terbang perdana pada tanggal 16 Agustus 2017.
Selain pesawat N 219, Penulis lebih kagum lagi, ternyata bukan hanya Pesawat N 219, PTDI mempunyai Program untuk menciptakan pesawat tempur KFX/IFX , hasil kerjasama dengan Korea Selatan. Pesawat KFX/IFX ini kemampuannya melebihi pesawat tercanggih saat ini F 16 maupun SU 35. Kalau Pesawat F 16 dan SU 35 tergolong generasi 4 ++, sedangkan pesawat KFX/IFX ini generasi 4,5.
Dari Penjelasan Dirut PTDI sehabis peluncuran Pesawat N 219, Program KFX/IFX sudah dirintis sejak tahun 2009, bahkan pada tgl 4 Desember 2015 telah ditanda tangani Strategis Cooperstions Agreement antara PTDI dan KAI (Korea Aerospace Industries) yang disaksikan Menhan Ryamizard Ruacudu. Dalam kerjasama tersebut ada 3 phase atau tiga tahap yaitu tahap Design, tahap Enginering Manufacturing Development dan tahap Produksi. Tahap pertama sudah tuntas bahkan lebih cepat dari jawwal yang direncanakan dan saat ini dalam tahan kedua, diharapkan tahap produksi dimulai tahun 2026.
Dalam penjelasan berikutnya bahwa dalam kerjasama ini pihak PTDI telah mengirimkan ratusan enginer untuk bergabung bersama enginer KAI. Selain para enginer, PTDI juga sudah menyekolahkan beberapa personil Test Pilot, Flight Test Enginers baik dari PTDI maupun dari Penerbang TNI AU di Canada. Namun dari berbagai sumber, akhir akhir ini ada beberapa berita tentang KFI/IFX yang membuat seperti mau dihentikan, seperti berita dibawah ini :
1. Kelanjutan Program Pembuatan Pesawat hu KFX/IFX Belum Jelas (KOMPAS.com edisi 21 Maret 2018)
2. Kemenhan Sebut Ada Keterlambatan Pembuatan Pesawat Tempur KFX/IFX (TEMPO.CO edisi 25 April 2018).
3. Kemenhan : MoU Pesawat Tempur KFX/IFX Dikaji Ulang ? (TEMPO.CO edisi Mei 2018).
Mudah mudahan berita yang beredar tersebut hanya kekhawatiran, program akan tetap berjalan, karena ini Program Kerjasama G to G, pembatalan perlu kesepakatan kedua Negara dan resikonya cukup besar bila dibatalkan diantaranya :
1. Kerugian baik secara material maupun pengembangan SDM, karena sudah ratusan Personil yang dikirim ke KAI Korsel yang sudah mengeluarkan biaya cukup besar.
2. Peluang untuk bisa memproduksi Pesawat Tempur menjadi hilang.
3. Menurunnya kepercayaan dunia terhadap PTDI yang saat ini sedang memproduksi N 219
4. Hubungan bilateral antara Indonesia dan Korsel bisa renggang, padahal baik TNI AL maupun TNI AU alutsistanya menggunakan produk Korsel
5. Indonesia harus siap hadapi Arbitrase Internasional dalam penyelesaian Pembatalan Kerjasama, yang mungkin biayanya akan lebih tinggi.
Penulis sebagai mantan Kepala Dinas Pengadaan TNI AU yang sedikit banyak mengetahui makna dan resiko kerjasama, sangat disayangkan kalau dibatalkan. Selain beberapa resiko diatas masih banyak hal hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya :
1. Program Kerjasama atau Joint Development ini sudah melalui kajian bertahun tahun, dan posisi negara non blok adalah negara yg paling sulit utk mendapatkan teknollgi, sedangkan pemberian teknologi biasanya hrs ada keberpihakan ( aliansi ).
Ini merupakan peluang emas untuk menjadi negara maju.
2. Untuk memenuhi tuntutan Kemandirian dlm pemenuhan kekuatan pertahanan spt yg diamanatkan dlm UU no. 3 /2002 ttg Pertahanan Negara dan UU no.34 / 2004 ttg TNI harus diwujudkan, Program KFX - IFX merupakan salah satu jawaban utk mengisi kemandirian dlm hal Pertahanan.
3. Program ini sangat2 strategik, keuntungannya sangat banyak, tidak hanya dinilai dari segi hitung hitungan bisnis atau secara finansial saja, tapi harus dilihat secara komprehensif, yang pada akhirnya dpt menimbulkan daya getar / detterence absolute.
4. Yang lebih utama lagi pesawat KFX - IFX ini Akan menjadi kekuatan TNI AU sampai dengan tahun 2040 an perlu terus dikembangkan secara bersama dengan pihak Korea maupun secara mandiri, oleh sebab itu langkah ini harusnya mendapat dukungan semua pihak demi kelancaran dlm menuju kemandirian pertahanan negara.
Walau kasusnya berbeda dengan kegagalan Pesawat N 250, penulis hanya bisa berdoa smoga Program KFX/IFX tetap jalan, sehingga nantinya secara khusus kemampuan PTDI diakui dunia, dan secara umum Indonesia akan disegani dunia .. Aaamiin (oleh Marsda TNI Purn Tumiyo/April 2018)