Salus Populi Suprema Lex
Sejumlah burung prenjak
mengoceh nyaring di pohon
belimbing di halaman
pertapaan Ratawu di Sapta
Arga. Cantrik tanggap terhadap
pesan alam itu. Ia lalu cekat-ceket
(mempercepat) mengerjakan tugas
hariannya bersih-bersih pendapa.
Tuan rumah, Begawan Abiyasa,
keluar dari ruang sanggar
pamujan. Dihampirinya cantrik
yang tampak terburu-buru bekerja.
“Tumben cantrik, kamu pagi ini
tampak tergesa-gesa?” sapanya
lembut.
Cantrik membungkukkan badan
sambil menangkupkan kedua
telapak tangan di depan dadanya.
“Akan ada tamu, sang Begawan.”
“Kok tahu?”
“Ada burung prenjak nggancer
(mengoceh terus),” jawabnya
seraya tersenyum.
Tidak ada korelasi logis antara
prenjak berkicau dan tamu.
Namun, sejak dulu kala para
leluhur meyakini karena kerap
menjadi kenyataan apabila ada
burung mungil berbulu dominan
abu-abu itu bernyanyi di sekitar
rumah pertanda akan ada tamu.
“Nyuwun sewu (maaf), Begawan.
Boleh saya bertanya?” kata cantrik.
“Silakan, ada apa?”
“Prenjak berkicau tanda akan
ada tamu, itu gugon tuhon atau
bukan?”
Abiyasa mengatakan antara
burung dan tamu itu tidak ada
hubungannya sama sekali, hanya
kebetulan. Adapun
gugon tuhon itu
semacam
piwulang (ajaran) yang
berupa peringatan (larangan) yang
tidak nalar, tapi diikuti masyarakat.
Belum selesai sang Begawan
menjelaskan, mendadak datanglah
cucu buyut dari Kesatriyan
Plangkawati Raden Abimanyu.
Turut serta pamomongnya, Semar
Badranaya beserta ketiga anaknya,
Gareng, Petruk, dan Bagong.
Abiyasa segera mempersilakan
cucunya dan Panakawan masuk
ke ruang pendapa. Abimanyu
menghaturkan sembah sungkem
kepada eyangnya. Sementara
itu, Semar dan anak-anaknya
menyampaikan salam takzim
kepada tuan rumah.
Cantrik pun mengucapkan
selamat datang kepada semua
tamu. Mereka kemudian saling
bertukar kabar tentang kesehatan
dan keluarga masing-masing.
Cantrik lalu mohon pamit ke dapur
mempersiapkan minuman dan
nyamikan.
Setelah berbasa-basi, Abiyasa
bertanya kepada cucu buyut
apakah datang diutus uaknya,
Prabu Puntadewa (Raja Negara
Amarta), atau kemauan sendiri.
Abimanyu menjawab dirinya
sowan ke Ratawu atas kehendak
pribadi.
Mendadak raut muka Abimanyu
berubah sedih. Matanya berkacakaca. Tidak ada sepatah kata pun
yang terucap. Suasana menjadi
muram.
“Ada apa Abimanyu?” tanya
Abiyasa.
Abimanyu tak mampu bicara.
Tampak ia sedang menahan
gejolak hati.
“Kiai Semar, ada apa
cucuku ini?” tanya
Abiyasa.
“Nanti, cucumu sendiri
yang bicara sang Begawan,
saya orang tua yang
tugasnya hanya momong,”
jawab Semar.
Sebelum madeg
(menjadi) pendeta di
Sapta Arga, Abiyasa
menjabat sebagai
Raja Negara Astina
bergelar Prabu
Kresnadwipayana. Ia lengser
keprabon dan menyerahkan
kekuasaan kepada putra kedua,
Pandu. Abimanyu ialah cucu Pandu
dari putra ketiga, Arjuna, dari
istrinya yang bernama Sembadra.
Setelah beberapa saat berlalu,
Abimanyu membuka mulut, “Maaf,
Kanjeng Eyang. Saya sempat tidak
bisa matur (bicara).”
Abimanyu menjelaskan dirinya
sedih dengan kondisi Amarta.
Rakyat banyak yang menjadi
korban pagebluk yang makin
mengganas. Sementara itu,
sebagian elite bermain politik, terus
memojokkan Puntadewa, bahkan
mendesaknya turun takhta.
“Cucuku, semua yang menjadi
kodrat itu mesti dilakoni (dihadapi
dan dijalani). Tetap berikhtiar
dengan kesabaran dan tawakal,”
tutur Abiyasa.
“Apakah berpolitik di tengah
pagebluk itu etis, Kanjeng Eyang?”
Ketika memimpin Astina, Abiyasa
dikenal sebagai politikus
ulung dan ahli
pemerintahan. Ia mampu menata
dan membangun negara menjadi
semakin maju dan makmur.
Banyak pemimpin negara lain yang
menjalin persahabatan dan meguru
(belajar) kepadanya.
“Tidak ada yang bisa melarang
orang berpolitik. Tetapi seyogianya
yang membumi, yang berangkat
dari situasi dan kondisi yang
sedang dihadapi bangsa dan
negara.”
Menurut Abiyasa, di saat negara
dalam ancaman, politiknya
mesti dalam satu gerakan
untuk menyelamatkannya.
Tidak memfi tnah, menyerang,
merendahkan, dan menghina
pemimpin yang sedang berjibaku,
tetapi mendukung langkahnya.
Tetap kritis terhadap setiap
kebijakan yang diambil pemimpin.
Memberikan alternatif solusi atas
persoalan yang sedang dihadapi
bersama karena ini bukan urusan
personal lagi, melainkan bangsa
dan negara yang menjadi
taruhannya.
“Jadi politiknya kepublikan,
bukan untuk urusan
kekuasaan,” tuturnya.
Cantrik tiba-tiba
menyela minta maaf
menyuguhkan
wedang jahe merah
dengan gula batu
kuning. Ada juga
penganan palawija,
yaitu ada bili, enthik,
uwi, dan ketela
rebus. “Mangga
(silakan) dicicipi.
Ini menanam
sendiri di kebun
belakang.”
Bagong yang pertama mengambil
wedang dan enthik.
“Mbok nunggu setelah Ndara
(bendara) Abimanyu atau bapak
dulu yang mengambil ta Gong
(Bagong),” kata Petruk.
“Sudah lapar banget Kang. Tadi
kita kan belum sarapan. Biasanya
Ndara Abimanyu mampir ke
warung, ini tadi tidak,” ujar Bagong.
Abimanyu lalu bertanya
kepada sang kakek, apa yang bisa
dilakukan seorang pemimpin
ketika pandemi yang semakin
mengancam rakyat.
Abiyasa mengatakan kepentingan
atau keselamatan rakyat di atas
segala-galanya. Oleh karena
itu, pemimpin harus berani
menerapkan kebijakan yang
diyakini bisa mengatasi persoalan
kebangsaan. “Salus populi suprema
lex esto,” ujarnya.
“Tahu enggak Gong, artinya
pepatah Latin itu?” tanya Petruk.
“Tahu,” jawab Bagong.
“Keselamatan rakyat harus menjadi
hukum tertinggi.”
“Atau juga bisa berarti, ‘mari
jadikan keselamatan rakyat sebagai
hukum tertinggi’,” tambah Petruk.
Abiyasa mewanti-wanti bahwa
negara itu ada (dibentuk) untuk
melindungi rakyat. Jadi, tidak
ada alasan bagi semua instrumen
negara, tanpa terkecuali, yang lari
dari tanggung jawabnya di kala
rakyat sedang terancam.
Tidak terasa matahari sudah
condong ke Barat. Abiyasa
mengajak Abimanyu dan
Panakawan melaksanakan ibadah
siang dan kemudian dilanjutkan
menikmati menu makan siang yang
sudah disiapkan cantrik. ,, (Diambil dari Media Indonesia 25 Juli 2021)