Sabtu, 24 Juli 2021

WAYANG MODERN


Salus Populi Suprema Lex

Sejumlah  burung prenjak 
mengoceh nyaring di pohon 
belimbing di halaman 
pertapaan Ratawu di Sapta 
Arga. Cantrik tanggap terhadap 
pesan alam itu. Ia lalu cekat-ceket
(mempercepat) mengerjakan tugas 
hariannya bersih-bersih pendapa. 
Tuan rumah, Begawan Abiyasa, 
keluar dari ruang sanggar 
pamujan. Dihampirinya cantrik 
yang tampak terburu-buru bekerja. 
“Tumben cantrik, kamu pagi ini 
tampak tergesa-gesa?” sapanya 
lembut.
Cantrik membungkukkan badan 
sambil menangkupkan kedua 
telapak tangan di depan dadanya. 
“Akan ada tamu, sang Begawan.” 
“Kok tahu?”
“Ada burung prenjak nggancer
(mengoceh terus),” jawabnya 
seraya tersenyum.
Tidak ada korelasi logis antara 
prenjak berkicau dan tamu. 
Namun, sejak dulu kala para 
leluhur meyakini karena kerap 
menjadi kenyataan apabila ada 
burung mungil berbulu dominan 
abu-abu itu bernyanyi di sekitar 
rumah pertanda akan ada tamu.
“Nyuwun sewu (maaf), Begawan. 
Boleh saya bertanya?” kata cantrik.
“Silakan, ada apa?”
“Prenjak berkicau tanda akan 
ada tamu, itu gugon tuhon atau 
bukan?” 
Abiyasa mengatakan antara 
burung dan tamu itu tidak ada 
hubungannya sama sekali, hanya 
kebetulan. Adapun 
gugon tuhon itu 
semacam 
piwulang (ajaran) yang 
berupa peringatan (larangan) yang 
tidak nalar, tapi diikuti masyarakat.
Belum selesai sang Begawan 
menjelaskan, mendadak datanglah 
cucu buyut dari Kesatriyan 
Plangkawati Raden Abimanyu. 
Turut serta pamomongnya, Semar 
Badranaya beserta ketiga anaknya, 
Gareng, Petruk, dan Bagong.
Abiyasa segera mempersilakan 
cucunya dan Panakawan masuk 
ke ruang pendapa. Abimanyu 
menghaturkan sembah sungkem 
kepada eyangnya. Sementara 
itu, Semar dan anak-anaknya 
menyampaikan salam takzim 
kepada tuan rumah.
Cantrik pun mengucapkan 
selamat datang kepada semua 
tamu. Mereka kemudian saling 
bertukar kabar tentang kesehatan 
dan keluarga masing-masing. 
Cantrik lalu mohon pamit ke dapur 
mempersiapkan minuman dan 
nyamikan.
Setelah berbasa-basi, Abiyasa 
bertanya kepada cucu buyut 
apakah datang diutus uaknya, 
Prabu Puntadewa (Raja Negara 
Amarta), atau kemauan sendiri. 
Abimanyu menjawab dirinya 
sowan ke Ratawu atas kehendak 
pribadi.
Mendadak raut muka Abimanyu 
berubah sedih. Matanya berkaca￾kaca. Tidak ada sepatah kata pun 
yang terucap. Suasana menjadi 
muram.
“Ada apa Abimanyu?” tanya 
Abiyasa.
Abimanyu tak mampu bicara. 
Tampak ia sedang menahan 
gejolak hati.
“Kiai Semar, ada apa 
cucuku ini?” tanya 
Abiyasa.
“Nanti, cucumu sendiri 
yang bicara sang Begawan, 
saya orang tua yang 
tugasnya hanya momong,” 
jawab Semar.
Sebelum madeg
(menjadi) pendeta di 
Sapta Arga, Abiyasa 
menjabat sebagai 
Raja Negara Astina 
bergelar Prabu 
Kresnadwipayana. Ia lengser 
keprabon dan menyerahkan 
kekuasaan kepada putra kedua, 
Pandu. Abimanyu ialah cucu Pandu 
dari putra ketiga, Arjuna, dari 
istrinya yang bernama Sembadra.
Setelah beberapa saat berlalu, 
Abimanyu membuka mulut, “Maaf, 
Kanjeng Eyang. Saya sempat tidak 
bisa matur (bicara).”
Abimanyu menjelaskan dirinya 
sedih dengan kondisi Amarta. 
Rakyat banyak yang menjadi 
korban pagebluk yang makin 
mengganas. Sementara itu, 
sebagian elite bermain politik, terus 
memojokkan Puntadewa, bahkan 
mendesaknya turun takhta. 
“Cucuku, semua yang menjadi 
kodrat itu mesti dilakoni (dihadapi 
dan dijalani). Tetap berikhtiar 
dengan kesabaran dan tawakal,” 
tutur Abiyasa.
“Apakah berpolitik di tengah 
pagebluk itu etis, Kanjeng Eyang?”
Ketika memimpin Astina, Abiyasa 
dikenal sebagai politikus 
ulung dan ahli 
pemerintahan. Ia mampu menata 
dan membangun negara menjadi 
semakin maju dan makmur. 
Banyak pemimpin negara lain yang 
menjalin persahabatan dan meguru
(belajar) kepadanya.
“Tidak ada yang bisa melarang 
orang berpolitik. Tetapi seyogianya 
yang membumi, yang berangkat 
dari situasi dan kondisi yang 
sedang dihadapi bangsa dan 
negara.”
Menurut Abiyasa, di saat negara 
dalam ancaman, politiknya 
mesti dalam satu gerakan 
untuk menyelamatkannya. 
Tidak memfi tnah, menyerang, 
merendahkan, dan menghina 
pemimpin yang sedang berjibaku, 
tetapi mendukung langkahnya.
Tetap kritis terhadap setiap 
kebijakan yang diambil pemimpin. 
Memberikan alternatif solusi atas 
persoalan yang sedang dihadapi 
bersama karena ini bukan urusan 
personal lagi, melainkan bangsa 
dan negara yang menjadi 
taruhannya.
“Jadi politiknya kepublikan, 
bukan untuk urusan 
kekuasaan,” tuturnya.
Cantrik tiba-tiba 
menyela minta maaf 
menyuguhkan 
wedang jahe merah 
dengan gula batu 
kuning. Ada juga 
penganan palawija, 
yaitu ada bili, enthik, 
uwi, dan ketela 
rebus. “Mangga
(silakan) dicicipi. 
Ini menanam 
sendiri di kebun 
belakang.” 
Bagong yang pertama mengambil 
wedang dan enthik.
“Mbok nunggu setelah Ndara
(bendara) Abimanyu atau bapak 
dulu yang mengambil ta Gong
(Bagong),” kata Petruk.
“Sudah lapar banget Kang. Tadi 
kita kan belum sarapan. Biasanya 
Ndara Abimanyu mampir ke 
warung, ini tadi tidak,” ujar Bagong.
Abimanyu lalu bertanya 
kepada sang kakek, apa yang bisa 
dilakukan seorang pemimpin 
ketika pandemi yang semakin 
mengancam rakyat.
Abiyasa mengatakan kepentingan 
atau keselamatan rakyat di atas 
segala-galanya. Oleh karena 
itu, pemimpin harus berani 
menerapkan kebijakan yang 
diyakini bisa mengatasi persoalan 
kebangsaan. “Salus populi suprema 
lex esto,” ujarnya.
“Tahu enggak Gong, artinya 
pepatah Latin itu?” tanya Petruk.
“Tahu,” jawab Bagong. 
“Keselamatan rakyat harus menjadi 
hukum tertinggi.”
“Atau juga bisa berarti, ‘mari 
jadikan keselamatan rakyat sebagai 
hukum tertinggi’,” tambah Petruk.
Abiyasa mewanti-wanti bahwa 
negara itu ada (dibentuk) untuk 
melindungi rakyat. Jadi, tidak 
ada alasan bagi semua instrumen 
negara, tanpa terkecuali, yang lari 
dari tanggung jawabnya di kala 
rakyat sedang terancam.
Tidak terasa matahari sudah 
condong ke Barat. Abiyasa 
mengajak Abimanyu dan 
Panakawan melaksanakan ibadah 
siang dan kemudian dilanjutkan 
menikmati menu makan siang yang 
sudah disiapkan cantrik. ,, (Diambil dari Media Indonesia 25 Juli 2021)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar