Menteri Perumahan saat itu adalah Alm Bpk Cosmas Batubara. Sebagai pengamat, era Presiden Soeharto dapat dikatakan berhasil, karena ada tiga tiga pilar pembangunan perumahan Nasional yang sinergi dalam merumahkan MBR. Kementerian Perumahan sebagai Regulator, Perum Perumnas sebgai Pengembang dan BTN sebagai Penyalur Kredit. Subsidi Rumah tersalur dengan baik, para Pegawai Pemerintah merasakan kemudahan dalam memperoleh KPR. Gaji mereka saat itu masih kecil, untuk mengangsur dengan ketentuan 1/3 gaji saja, mereka sebetulnya banyak yang merasa berat. Untuk Anggota ABRI 1/3 gaji belum cukup untuk angsuran.
Oleh sebab itu khususnya kalangan ABRI saat itu ada kebijakan memberikan Pinjaman Uang Muka tanpa bunga, besarannya sampai dengan 50 % harga rumah. Dengan adanya PUM, para Prajurit bisa mengangsur dengan 1/3 Gaji. Sebagai ilustrasi Penulis tahun 90 an, gaji sekitar 300 ribu, ambil KPR dg Angsuran 98 ribu karena dapat pinjaman 6,5 jt saat itu. Kalau beli cash harga rumah 13 jt. Diangsur selama 15 tahun, lunas tahun 2005 namun harga rumah saat itu sudah sekitar 150 jt.
Sebetulnya Subsidi Rumah saat ini sudah ukup besar dan setiap tahunnya selalu ada kenaikan. Sebagai contoh era SBY Subsidi Rumah, awalnya sekitar 300 M di tahun 2005, akhir tahun 2009 sekitar 2,5 T bahkan tahun 2010 menjadi sekitar 4,5 T. Sayangnya begitu Subsidi Rumah meningkat, pola penyaluran berubah. Dari data yang ada pada era SBY (2010 sd 2014) Pagu FLPP sekitar 18,7 T tareserap 361.105 unit. Era Jkw (2015 sd 2019) Pagu FLPP meningkat menjadi 32,6 T tapi Targetnya 335.685 unit (Laporan PPDPP).
Awalnya ada pola SSB (Subsidi Selisih Bunga), SBUM (Subsidi Bantuan Uang Muka), Bantuan PSU. Begitu Subsidi makin besar mencapai triliunan timbul pola FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dimulai tahun 2010. Pola ini oleh Jkw dilanjutkan bahkan ada pola baru BP2PT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan), adalagi pola KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha), selain pola Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
Inilah kelemahan pola penyaluran Subsidi Rumah, menurut penulis Pola baru FLPP perlu dievaluasi, fakta Anggaran makin besar tapi realisasi makin kecil. FLPP Bukan dievaluasi, malah ada beberapa pola baru, kementerian perumahan layaknya kementerian litbang. Sebagai contoh tahun 2016 ada UU no 4 tentang Tapera, yang mestinya tahun 2018 sudah berjalan tapi malah ada pola BP2PT. Pola BP2PT masih sosialisasi sudah ada pemikiran pola KPBU. Pola2 tersebut diatas timbul setelah Kementerian Perumahan digabung dengan Kementerian Pekerjaan Umum.
Melihat Rencana Program Kemenpupr yang begitu besar di era Pemerintahan Jkw yang kedua ini, dimana untuk Perumahan saja diperlukan 780 T (skema KPBU edisi 163 P&B). Semestinya Pengelolaan Perumahan perlu ditangani Kementerian tersendiri. Pola Penyaluran tidak perlu berbagai bermacam macam. Perlukah ada SSB, SBUM, FLPP, TAPERA, BP2BT dan KPBU ?
Semoga Kemenpupr bisa lebih memahami bahwa MBR tidak perlu aturan yang bermacam macam. Mereka bisa memiliki rumah layak dengan cara KPR dan bunga tidak memberatkan serta aturan tidak ribet. Pola Subsidi Rumah FLPP perlu evaluasi, yang selama ini dirasakan tidak meringankan para MBR. Mungkin perlu belajar ke TWP (Tabungan Wajib Perumahan)TNI POLRI, terutama TWP TNI AU, dimana Prajurit dalam KPR tanpa Uang Muka dan bunga KPR cuma 3%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar