Sabtu, 15 Februari 2025

NOSTALGIA DI DILI

"Nostalgia di Langit Dili"

Langit sore di atas Dili tampak tenang, tapi hati saya selalu tak pernah tenang. Saat itu, saya masih seorang kopilot di pesawat Dakota, sebuah burung besi yang sudah kenyang pengalaman perang. Bandara Komoro adalah markas kami, bandara kecil dan satu2nya Bandara di Timor Timur yang sudah beraspal, hanya beberapa menit dari kota. Namun, meskipun dekat dengan peradaban, suasananya jauh dari damai.

Setiap hari, saya dan kru menjalani rutinitas yang tidak biasa. Kami siap terbang kapan saja, mengawal barang dan nyawa di bawah bayang-bayang perang. Meski tugas saya hanya “copilot,” rasanya seperti melangkah di medan perang setiap kali kaki menginjak kokpit. Di luar misi, kehidupan di mess pun tak kalah mencekam. Setiap malam, suara baku tembak dari selatan Dili menjadi musik pengantar tidur kami.

Pagi itu, seperti biasa, kami bersiap untuk misi dorlog (dropping logistik) ke Suai. Beras, obat-obatan, dan amunisi adalah nyawa bagi rekan-rekan kami yang bertahan di garis depan. Tidak ada landasan beraspal di sana, hanya hamparan rumput yang menunggu kami di tengah hutan. Kami terbang rendah, hampir menyentuh pucuk-pucuk pohon, berusaha menghindari tembakan musuh yang bisa datang dari mana saja.

Drop logistik dilakukan dengan "low-level cargo drop," barang-barang dilempar dari pintu belakang pesawat. Beras, jatah makan, dan kebutuhan lainnya jatuh di titik yang telah ditentukan. Namun, tak semua barang yang kami angkut untuk mereka. Kadang, pesawat ini juga menjadi saksi bisu kembalinya prajurit-prajurit yang telah gugur. Jenazah mereka kami angkut dari Suai atau Viqueque, tubuh mereka yang masih berlumuran darah segar adalah gambaran harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah perjuangan.

Salah satu hari yang paling membekas adalah saat ekor Dakota kami dihantam tembakan. Peluru menembus bahan terpal di ekor pesawat, meninggalkan lubang kecil tapi cukup untuk mengguncang jiwa kami. Pesawat ini memang tangguh, bagian ekornya walau terbuat dari terpal  hanya dilapisi cat. Tapi itu cukup membuat kami sadar, bahwa hidup kami benar-benar berada di ujung sayap pesawat ini.

Meski setiap penerbangan penuh risiko, ada rasa bangga tersendiri dalam menjalani tugas ini. Kami bukan hanya menerbangkan logistik, tetapi juga harapan. Harapan bagi mereka yang bertahan di garis depan dan bagi mereka yang menunggu di rumah.

Kini, setiap kali saya mendengar kata "Dili," kenangan itu kembali seperti film. Saya bisa merasakan kembali deru mesin Dakota, bau darah yang menyengat, dan ketegangan yang seolah tak pernah hilang. Perang memang mengerikan, tetapi semangat untuk mempertahankan MERDEKA adalah alasan kami terus terbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar