Saat itulah kita secara fisik dibuat untuk tidak bisa berbuat apa2. Untuk tidak bisa membela siapa2 bahkan terhadap diri sendiri sekalipun. Adanya cuma nurut dan manut! Disuruh merayap, berguling dengan diguyur cairan tepung singkong tapioka yg lengket ya dilaksanakan saja. Sekujur tubuh basah dg tajin. Tangan, kaki menjadi licin. Semua yg dipegang ikut licin. Rumput ilalang ataupun batang semak yg dipegang utk mbantu kita bisa naik ke Puncak Gunung Tidar saat itu, tiba2 licin semua shg sering terlepas dan jatuh berguling ke bawah ber-kali2.
Apalagi saat itu sore hari sehabis Tidar diguyur hujan bulan Januari. Rupanya alam semesta saat itu berkolaborasi sempurna dg programnya Akabri Udarat, utk membuat situasi dan kondisi menjadi pas untuk terselenggaranya program Vira Charya. Itu belum cukup! Tambahan lagi pukulan pentungan senior yg terus bertubi ke helm yg dipakai. Kita ingat itu helm luar doang tanpa helm dalam. Meski yg dipukul adalah helmnya dan bukan kepala, tapi helm baja yg keras dan kaku itu kurang bisa meredam impact pukulan. Tidak mampu sbg "impact absorber" yg baik. Apalagi dg tanpa helm dalam, yg artinya kulit helm nyentuh langsung ke kepala kita. Jadinya ya 30% kekuatan pukulan diteruskan ke kepala. Akhirnya ya meski yg dipukul helmnya, tapi sakitnya tetap sebagian terasa! Helm luar itu longgar di kepala, krn sekali lagi tidak dilapis dengan helm dalam.
Akhirnya setiap lari, helm itu terus menerus "gojlak" dg me-mukul2 kepala kita. Ditambah lagi helm baja bukan isolator panas. Dia justru konduktor panas yg baik. Jadi jika terpapar panas matahari, maka kulit kepala ngibarat bersentuhan dg alat penggorengan. Maka pd saat plontos, rata2 kulit kepala yg bersentuhan dg kulit helm luar akan gosong dan mengelupas. Memang nampaknya para senior paham benar ttg phenomena ini, nyatanya pada setiap mereka "nggambleh" mesti di paparan panas matahari. Jarang di tempat teduh. Itu gambaran sebagian dari uji fisik. Belum lagi uji mentalnya! Masih lekat di memori bagaimana senior menyadarkan junior dg kata2 keras. "Siapapaun kalian, dari manapun asal kalian, juga apapun status kalian, saat sekarang ini tidak pantas utk sedikitpun sombong! Karena pangkat kalian adalah pangkat yg paling rendah dari pangkat2 yg pernah ada di alam semesta ini!" Dengan fisik yg lelah krn gojlokan yg terus menerus, saya saat itu ya membenarkan. Bahkan membenarkan sekali! Lha wong pangkat terendah tentara itu adalah prajurit. Lha kita2 ini pangkat prajurit saja belum. Baru calon! Makanya pangkatnya disebut Capratar. Bahkan saya mbatin kalau misalnya "demit" itu punya pangkat, maka pangkat terendah dari "demit" itupun masih di atas pangkat kita! Astaghfirulloh!
Jadi kita betul2 di "downgrade". Alias dijatuhkan sampai pd kondisi yg sangat rendah. Bahkan paling rendah! Ada yg mengatakan dikembalikan ke 0 km. Bahkan kalau saya menganggap malah minus km, atau didorong jauh di belakang garis start. Lha ini yg selanjutnya saya renungkan dg pendekatan filosofis! Yaitu dg berada di tempat yg paling rendah, maka air atau jenis fluida apapun akan gampang dialirkan ke dalamnya. Artinya kita gampang dimasuki apa saja. Apa itu ilmu, ketrampilan, doktrin, santi aji, santi kharma ataupun santi2 yg lain (😁😁 😁). Jadi nurut saya, bahwa "attribute ngowoh" yg disematkan kepada Capratar adalah kesengajaan.
Ini sebagai sebuah metode pendidikan utk merubah "perilaku" secara total dan super cepat. Untuk merombak kebiasaan hidup yg sudah terbentuk hampir 20 tahun lamanya (seusia saat masuk Akabri). Dg memaksa kita jadi "ngowoh" artinya menjadikan kita lbh rendah hati, tawadu', humble tidak sombong. Meski saya terlambat menyadari, rasanya sulit menjumpai lembaga pendidikan yg menggarap 3 aspek baik kognitif, psikomotor dan afektif secara terarah, terprogram, terintegrasi dan proporsional sebaik Akademi TNI/Polri. Resume saya bhw capaian tertinggi apapun dlm karier kita masing2, rasanya sulit "selak" atau diungkiri. Bahwa yg kita capai semuanya berawal dari sebuah proses "ngowoh", yg terjadi 53 th atau hampir 54 tahun yg lalu. Siapapun kita! Apakah sbg RI 1, Menko, Kepala Staf, Dubes, Panglima ini, Komandan itu, Asisten ini, Kadis itu, Pengusaha ini, Pengusaha itu dan seterusnya dan seterusnya. Yah nuwun sewu ini "grundelan" sbg refleksi usia pengabdian RB yg hampir 50 th (RB /Randublatung/Tempat Sitarda/AKABRI 73)... 😁😁🙏🙏🙏
Tidak ada komentar:
Posting Komentar