Jumat, 27 Juni 2025

PERKEMBANGAN RUMAH SUBSIDI 2025

Ikuti perkembangan Program Tiga Juta Rumah Presiden Prabowo, sebagai pengamat perumahan awalnya hanya kagum dan berdoa semoga berhasil.    Pertengahan Januari 2025, penulis sudah membuat ulasan tentanh Program Tiga Juta Rumah dan penulis abadikan dalam Blog Resmi http://tumiyohaji.blogspot.com/2025/01/program-bangun-3-juta-rumah-mbr-di.html.   Disana penulis sampaikan bahwa era Jokowi selama 10 tahun hanya bisa bangun sekitar 1.200.000 unit, era Prabowo akan bangun tiga juta unit.   Ini dalam setahun apa lima tahun ? Menurut Menteri Perumahan dan Kawasan Perkotaan (PMK) dijelaskan untuk selama setahun, bahkan dari Penerintah Qatar dan UEA sanggup membangun 7  juta rumah.  Dari salah satu Penguasa UEA malah sanggup membangun 1 juta unit rumah.

Setelah Pemerintah Prabowo berjalan sekitar 8 bulan, sepertinya Program 3 juta rumah jalan ditempat, hal ini banyak dikeluhkan oleh para Pengembang.  Ketum REI dalam evaluasi Program 3 juta rumah menyampaikan keresahan  para pengembang bisa disimak dalam  Soal Program 3 Juta Rumah, Ketum REI: Presiden Prabowo Sudah Tidak Antusias | tempo.co https://share.google/biVNK2fUvLDNHMdwO.   Para Pengembang antusias menyambut Program 3 juta rumah, namun Pemerintah dalam hal ini Kemenpkp seperti hanya wacana.  Keluhan para Pengembang bukan tanpa alasan karena Roudmap dari Kemenpera belum ada.

Program 3 juta rumah oleh pengembang dirasakan jalan ditempat, fakta menunjukkan bahwa program FLPP 2025 target 350.000 unit, sampai Juni 2025 baru capai 117.000 unit (kumparan bisnis 27 Juni 2025).  Disaat program 3 juta rumah dirasakan jalan ditempat, saat ini dihebohkan oleh berita ukuran rumah subsidi.   Ukuran rumah subsidi dicanangkan oleh Menpkp Ara, seluas 14 m dan 18 m, bahkan unit rumah sudah dipamerkan di Lippo Mall Semanggi.   Tipe 14 dengan 1 tempat tidur sedangkan Tipe 18 dengan 2 tempat tidur satu dibawah satu diatas dengan tempat tindur bertingkat.

Penulis sebagai pengamat perumahan dan pernah menggeluti perumahan prajurit, merasa prihatin melihat perkembangan Rumah Subsidi saat ini.   Terkesan bukan membela kaum MBR namun membela kaum Pengusaha.   Tahun 2005 sd 2006, penulis mengelola YKPP (Yayasan Kesejahteraan Perumahan Prajurit) dimana Prajurit bisa KPR dan dipinjami Uang Muka sekitar 33 % Harga Rumah tanpa Bunga.  Saat itu ketentuan Uang Muka minimum 10 %.   Sebagai ilustrasi Harga Rumah Subsidi saat itu 42 juta, besarnya pinjaman Uang Muka senilai 14 juta, dan pinjaman dikembalikan saat pensiun.  Pengembalian pinjaman diperhitungkan dengan Santunan Pensiun yang akan diterima dari hasil potongan gaji sebesar 3,25 % setiap bulan.  Bisa dibilang Prajurit dalam KPR tidak keluar apa-apa tinggal angsur tiap bulannya.

Penulis pernah membuat usulan bahwa para Prajurit TNI POLRI maupun PNS untuk mendapatkan Rumah Subsidi bisa secara gratis, dan itu sangat nemungkinkan. Konsep Rumah Gratis masih bisa dibuka https://tumiyohaji.blogspot.com/2016/10/rumah-gratis-untuk-pns-prajurit-tni.html?m=1.    Dari pengamatan penulis, nilai Subsidi Rumah apalagi setelah adanya FLPP, pagu dalam APBN semakin meningkat tapi target terkesan  tidak meningkat.  Pagu awal FLPP tahun 2025 sebesar 18,7 T untuk 200.000 unit, akan ditingkatkan menjadi 350.000 unit dan infonya pagu akan dinaikkan diatas 30 T.   Kalau pagu awal 18,7 T untuk 200.000 unit, besarti nilai subsidi per unit sekitar 93,5 juta atau sekitar 60% harga rumah.   Sejak adanya FLPP, penulis mengkritisi Pola ini, karena dengan pagu yang diglontorkan cukup besar, bahkan awal nilai 90 % kemudian turun 75 % dan sekarang sekitar 60 % tetapi dana tersebut kembali ke Pemerintah dengan bunga 5%.  Terkesan MBR sebagai Obyek Pengembalian Pagu Subsidi.

Saat ini kasus Program 3 juta rumah maupun Program FLPP masih belum tuntas, timbul masalah baru tentang ukuran rumah Subsidi yang diturunkan menjadi 14 m dan 18 m.  Penulis jadi ingat saat sebagai Pembina Lembaga Pengkajian Perumahan dan Permukiman serta Perkembangan Perkotaan Indonesia (LPP3PI), ikut mendukung menggugat ke MK tentang Pasal 22 ayat 3 UU No 1 tahun 2011.  Dalam gugatan tersebut untuk merevisi pasal 22 ayat 3 yang isinya Rumah Subsidi yang awalnya luas Rumah Subsidi maksimal 36 m, dan berhasil diganti minimal 36 m.   

Pemerintah dalam mengambil kebijakan terkesan tidak mengacu kepada UU yang berlaku.   Bukan membela MBR justru memihak kepada Pengusaha, semua paham siapa Pengusaha Lippo, gagal dalam mengembangkan Meikarta sekarang diberi kesempatan untuk membangun Rumah Subsidi tipe 14 dan 18.   Untuk Rumah Susun saja tidak ada ukuran 14 dan 18, ini rumah tapak malah dibuat ukuran kecil.  Sebetulnya untuk mewadahi MBR di Perkotaan, sudah waktunya berupa Rusun atau Apartemen.   Tentunya untuk Rusun atau Aparetemen untuk MBR tidak semewah Apartemen Komersial tapi Kontruksi tidak boleh beda.  Apartemen MBR tidak perlu AC, Mesin Cuci, atau peralatan mahal lainnya.   Kalau melihat rumah contoh tipe 14 dan 18 Lippo Mall Nusantara di Semanggi, smua perlengkapan bukan untuk MBR.

Luas Tanah 25 m dan Luas Bangunan 14 m

Luas Tanah 25  m, Luas Bangunan 18 m

Saran penulis menanggapi Rumah Subsidi ukuran 14 dan 18 m sebagai betikut :

1. Kementerian PKP perlu meninjau kembali Konsep tersebut.
2. Pasal 22 ayat 3  UU No 1 Tahun 2011 tentang ukuran Rumah Subsidi perlu dipertahankan.
3. Untuk menenuhi kebutuhan Rumah untuk MBR di Perkotaan mulai dibudayakan Rumah Susun.
4. Untuk membangun rumah MBR baik Rumah Tapak maupun Rumah Susun melibatkan Pengembang Menengah kebawah.
5. Pemerintah perlu mendengar suara kalangan bawah.

(Penulis Marsda TNI Purn Tumiyo/Mantan Ketua YKPP/Mantan Dewas Perum Perumnas/Wakil Dewan Pertimbangan Pusat LVRI)